Jakarta, CSE Aviation,- Jika kita melihat kebelakang banyak sekali perusahaan-perusahaan airline yang mengalami kerugian baik itu Airline di dalam negeri maupun diluar negara, bahkan airline di dalam negeri yang telah mengalami kerugian dan tidak dapat melanjutkan operasinya, lalu akirnya harus menutup perusahaan penerbangannya antara lain; Star Air, Adam air, Mandala, Buroq, Batavia, dan Merpati.
Garuda Indonesia sejak tahun 1990 sampai tahun sekarang yang mengalami keuntungan beberapa tahun saja, di mana lebih banyak tahun mengalami kerugianya. Hal in terlihat sejak Garuda Go Publik, tidak pernah memberi Deviden kepada pemegang sahamnya, bahkan nilai sahamnya sejak pelepasan saham perdana menurun terus, sampai level terendah sehingga sampai saat ini belum dapat mencapai kembali keharga perdana (ref. laporan-laporan tahunan Rugi Laba Pt. Garuda Indonesia Airways).
Meskipun sekarang sudah masuk jaman era digital, tetapi pada kenyataannya dalam mengelola suatu perusahan, mereka masih tetap mengacu kepada dua theory yaitu; Theory RBV (Resourch Base Value); Barney, (1998), yaitu memberdayakan seluruh asset yang ada secara maksimal sehingga perusahan akan mendapatkan nilai tambah (value) yang maksimum juga.
Dan untuk theory yang ke dua yang digunakan adalah four forces dari Competitor Strategi M. Porter, (1980), dimana dalam menghadapi tantangan external, terutama dari competitor, perusahaan harus memiliki kemampuan berusaha atau Capability yang Dynamic, pada akhirnya untuk dapat memenangkan persaingan dengan competitor di market terbuka DC harus dijadikan Advantage Dynamic Capability (ADC).
Menurut Resourch Base Value (RBV); asset didalam perusahaan dibagi dua yaitu tangible (kasat mata) dan Intangible (tidak kasat mata), dimana capability atau kemampuan masuk kedalam kelompok salah satu factorintangible asset.
Apakah cabability tersebut dynamis atau tidak, harus dilihat didalam fungsi-fungsi struktur organisasi perusahaan tersebut. dimana pada fungsi tersebut terdapat wewenang dan tanggung jawab (Duties & Resposibility), dan dari suatu fungsi di Organisasi itu akan terlihat bahwa kewenangan yang merupakan capability atau kemampuan untuk mengatur dan meyesuaikan pekerjaan yang ditugaskan sesuai fungsi sehingga akan mencapai target yang harus ditanggung Jawabkan (Resposibiliies).
Sebelum kita menganalisa kenapa suatu Airline (AOC 121 dan Route berjadwal) mengalami kerugian atau keuntungan, sesuai dengan dua theory diatas. Ada dua sudut pandang yang sangat keritis dalam mengelola keuangan di suatu airline yang berbeda dengan industri lain, dua hal tersebut adalah: Responsibility pada Organisasi Airline dan menghitung Rasio Pendapatan dan Biaya pada Airline.
Rasponsibility pada Organisasi Airline
Pada umumnya struktur organisasi di suatu airline adalah terdiri dari Direktur Utama beserta; Direktur Komersial, Direktur Operasi, Direktur Keuangan, Direktur Teknik dan Direktur HRD dan Umum.
Untuk wewenang dan tanggung jawab para Direktur-direktur tersebut disesuaikan dengan fungsi pada strukturnya masing-masing, akan tetapi dari sudut tanggung jawab terhadap Financial Performance atau masalah keuangan, Direktur-direktur tersebut dibagi menjadi dua kelompok Yaitu: tanggung jawab terhadap Pendapatan (REVENUE CENTER) dan tanggung jawab terhadap Biaya atau Budget (COST CENTER).
Yang mempunyai tanggung jawab terhadap Pendapatan (Responsibility to the Revenue Center) hanya: Direktur Komersial, sedangkan untuk yang bertanggung jawab terhadap Biaya (Responsibility to the Cost Center) adalah Direktur-direktur: Direktur Operasi, Direktur Keuangan, Direktur Teknik dan Direktur HRD dan Umum.
Dan terlihat didalam suatu struktur organisasi Airline bahwa yang mempunyai tanggung jawab (responsible) terhadap untung atau rugi Perusahaan (Responsibility to the Profit Center) adalah Direktur Utamanya.
Sedangkan untuk memperoleh keuntungan (Profit) dari suatu Airline, terlebih dahulu harus membandingkan Pendapatan (Revenue) dengan Biaya (Cost). Atau istilah theorinya “Matching Cost against Revenue” at the same period of time.
Kapan PROFIT tersebut dapat terlihat
Dikarenakan proses Matching antara cost-cost center dan revenuecenter akan dilakukan pada saat akhir tahun oleh konsultan audit. Dan apakah hasilnya itu positif atau negatif yang bertanggung jawab sebagai profit center adalah Direktur Utamanya. Dan pada umumnya kondisinya dihasilkan adalah negatif, karena memang business airline saat ini sangat Marginal, artinya profitnya dibawah 5%, kecuali Ryanair, Easy Jet, Alaska Airline. (Bijan Vasigh, et al, 2015).
Karena matching tersebut dilakukan pada akhir tahun, dan hasilnya negatif maka tidak ada lagi action yang dapat merubah baik menaikan revenue maupun mengurangi cost, Jadi disinilah masalahnya kenapa airline itu pada umumnya merugi.
Dan fenomena ini akan berkelanjutan selama tidak ada break through dalam membuat struktur organisasi yang baru (Redesign Structure Organization)
Reenginering Financial atau rekayasa financial, hal ini dapat dilakukan dengan cara em divert Cost ke depan atau mengakui dan menarik projection Revenue ke belakang, hal ini dapat dilakukan kalau memang benar-benar secara akunting dapat dicatat sebagai Beban yang masih harus di bayar (Accrued Expenses) atau Utang Usaha (account payable).
Jika ada Direktur Utama demi kepentingan-kepentingan pribadi, merekayasa laporan keuangannya yang negatif agar menjadi Positif tanpa mengikuti kaidah-kaidah akunting,( PSAK) maka hal tersebut dapat masuk ke ranah Pidana.
Tahun 2020, mudah-mudahan hal ini tidak terjadi lagi, Selamat tahun Baru.
Rasio Pendapatan dan Biaya pada Airline Akan ditulis pada pada kesempatan berikutnya.
Jakarta, 1 Januari 2020
Samudra Sukardi
Vice Chairman CSE Aviation