CSE Aviation – AIRLINE PENGGERAK EKONOMI NEGARA

Jakarta, CSE Aviation,- Fungsi utama transportasi adalah memindahkan orang dan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Karena itu untuk airline sering disebut jembatan udara, pastinya memindahkan orang dan barangnya melalui udara.

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan dan pegunungan-pegunungan, sehingga tidak mungkin hanya disambungkan oleh transportasi laut maupun darat, dan yang paling ideal adalah dengan transportasi udara. Maka dari itu pendiri Negara Republik Indonesia dahulu telah merancang dan mempersiapkan perhubungan udara diwilayah kepulauan Indonesia agar seluruh pelosok kehidupan dan ekonomi terjangkau dengan mudah oleh penduduk dari sabang sampai merauke, yaitu dengan strategi mendirikan tiga kekuatan airline demi menjamin ketersediaan (availabilities) perhubungan udara yang aman, berkesinambungan (stainable) sebagai berikut:

  1. PT. Garuda Indonesia Tbk untuk menghubungkan kota besar ke kota besar lainnya dan domestic dan international.
  2. PT. Merpati Nusantara Airlines sebagai pengumpan (feeder) dari kota kecil ke kota besar dan juga sebagai penerbangan perintis.
  3. Pelita Air Service disiapkan untuk armada rotary wing yang menghubungkan kota kecil kedaerah-daerah pelosok seperti perkebunan, tambang dan pengeboran minyak di onshore maupun di off shore.  

Strategi adalah suatu set dari komitmen dan rencana aksi yang dibuat secara terintegrasi dan terkoordinasi untuk mengeksploitasi kemampuan yang ada (core competencies) sehingga mendapatkan nilai tambah dalam bersaing (competitive advantage), jika strategi tersebut tidak mengahasilkan formula yang sukses untuk perusahaan dan tidak mengaplikasikan yang membuat nilai tambah bagi perusahaan itu dapat dikatakan strategi yang kurang tepat terhadap harapan. (Hitt, at al, 2015).

Pada tulisan kali ini yang akan difokuskan adalah strategi-strategi yang kurang menghasilkan harapan yang tepat untuk diterapkan dan menghasilkan dampak kurang terhadap perkembangan maskapai PT. Garuda Indonesia Tbk itu sendiri dari kurun waktu ke waktu sehingga capaiannya belum terlihat secara signifikan menggerakan ekonomi.

PT. Garuda Indonesia Tbk adalah sebuah penerbangan terbesar di Indonesia yang merupakan Flag Carrier yang menerapkan pengaruh strateginya untuk mendapatkan nilai tambah (added value) pada internal organisasinya dan kemampuan bersaing yang tinggi (competitive advantage), sehingga perkembangan airline tersebut akhirnya akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi bangsa dan negara Indonesia.

Kurun waktu yang dapat terlihat dibagi empat era yaitu: Era Bapak Wiweko dan Era setelah Bapak Wiweko dan dua lagi Era Bapak Robby Djohan dan setelah Bapak Robby Djohan.

Masa Wiweko (1968-1984), itu lah sebutan yang sering digunakan untuk nama dalam era waktu itu, karena masa itu PT. Garuda Indonesia Tbk sangat progresif dalam mengembangkan armadanya maupun sumber daya manusianya. PT. Garuda Indonesia Tbk pernah menjadi airline terbesar, tidak hanya ASEAN tetapi juga terbesar nomor dua di Asia setelah JAL, karena pada masa itu strategiyang digunakan adalah kompetisi dinamik dan persaingan (Competitive Rivalry and Dynamic), through aggressive expansion of operation capability melalui pengembangan armada yang agresif dengan cara membeli lebih dari 100 pesawat yaitu: F27, F28, DC9, B747-400, DC10, Boeing 747-200, -400, A300B4-200FFCC- 400 (pertama di dunia hanya two men crew  cockpit crew), akan tetapi strategi tersebut tidak diikuti dengan sistem renumerasi terhadap profesionalisme karyawan penerbangan yang memang sangat unik dan juga tidak selaras dengan kewajaran standar industri penerbangan di Domestic maupun International. Sehingga terjadi protes-protes sampai demo-demo karyawan secara besar-besaran yang mengakibatkan lengsernya Bapak Wiweko.

Era setelah Bapak Wiweko, adalah R.A. J Lumemnta (1984-1988), Soeparno (1988-1992), Wage Mulyono (1992-1995), Soepandi(1995-1998), pada intinya masih meneruskan kemampuan kapasitas-kapasitas pesawat yang ditinggalkan Bapak Wiweko, akan tetapi ada beberapa strategi yang kurang tepat pada masa itu antara lain;

Strategi Merger and Accusation yaitu integrasi atau penggabungan antara PT. Garuda Indonesia Tbk dan PT. Merpati Nusantara Airlines, sehingga PT. Merpati Nusantara Airlines menjadi anak perusahaan PT. Garuda Indonesia Tbk. Pada saat tersebut juga pesawat kecil seperti F27 dan F28 dihibahkan ke PT. Merpati Nusantara Airlines beserta pilot-pilotnya dan route-routenya, sedangkan PT. Garuda Indonesia Tbk hanya fokus pada route-route kota-kota besar tertentu dan international flight saja. Karena karakteristik dan sistem maupun budayanya berbeda, maka meskipun team integrasi yang buat untuk penyatuan dan penyelasarannya memerlukan waktu yang panjang sehingga tidak selesai sampai team tersebut bubar dan diperintahkan lagi untuk dis-integrase kembali.

Dan strategi dis-integrasi, Karena ketidak ada keselarasan management PT. Garuda Indonesia Tbk dan Menteri Perhubungan saat itu tentang pengelolaan PT. Merpati Nusantara Airlines, maka diminta melakukan dis-integrasi (spliting) antara PT. Garuda Indonesia Tbk dan PT. Merpati Nusantara Airlines. Sehingga PT. Merpati Nusantara Airlines berdiri sendiri lagi sebagai PT yang 95% milik Pemerintah dan PT. Garuda Indonesia Tbk hanya 5% saja dan bukan lagi menjadi anak perusahaan PT. Garuda Indonesia Tbk. Akan tetapi asset F27 dan F28 pilot beserta routenya tidak dikembalikan ke PT. Garuda Indonesia Tbk. Dengan demikian akibatnya PT. Garuda Indonesia Tbk kehilangan alat produksi berupa pesawat, pilot dan route di domestic, sehingga banyak mengurai revenue dan menggoncangkan cash flow PT. Garuda Indonesia Tbk.

Sedangkan dari sisi PT. Merpati Nusantara Airlines, juga turut merugi karena tidak mempunyai sistem revenue collection yang real time on line, akibatnya banyak pendapatan yang tidak terlaporkan, sehingga juga mengalami kerugian dan banyak pesawat yang tidak terawat dan akhirnya didiamkan sampai tidak dapat meneruskan beroperasinya lagi hingga saat ini.

Strategi melakukan technology update yaitu pergantian DC 9 dengan Boeing 737-300 dan B737- 400. Teknologi saat itu memang kebisingan Engine PWA JT8D dan Fuel Consumption yang tinggi sehingga menyebabkan operating costnya menjadi tinggi. Dengan telah diproduksinya type B737-300, maka diputuskan menjual DC9 dan membeli B737-300 dan & 737-400. Ditataran strategi sebenarnya tidak ada yang aneh, tetapi ada pelaksanaan (action) dimana pada kontrak penjualan yang dilakukan, dijual semua sekaligus dan paymentnya dibayar jika pesawatnya sudah diambil (didelivery), yang terjadi pembeli tidak mengambil pesawat-pesawat tersebut, sampai ada yang mau membeli lagi diluar dengan harga yang lebih tinggi, akhirnya banyak pesawat DC9 menumpuk di GMF sampai jangka waktu yang lama dan ada beberapa pesawat yang tidak diambil-ambil dan tidak dibayar. PT. Garuda Indonesia Tbk dalam hal ini kehilangan alat produksi dan cash flow nya menjadi terganggu.

Strategi facing in dan facing out atau pengaturan pesawat kedatangan baru dan melepas pesawat lama, tidak direncanakan dengan baik. DC9 sekaligus dijual dan tidak bisa digunakan lagi, pembayarannya belum diterima, pesawat baru tidak bisa datang sekaligus dan celakanya adalah pada waktu pembelian B737, dimana delivery nya hanya 2 aircraft dalam sebulan setelah datang hanya 5 aircraft. Lalu terjadi kerisis pada tahun 1989, sehingga membuat dolar naik, dimana pendapatan PT. Garuda Indonesia Tbk lebih banyak rupiahnya dari pada dolarnya. Dibandingkan harga DC9 yang hanya 1 jt USD dan B737-300 yang baru sekitar 20Jt USD, maka PT. Garuda Indonesia Tbk langsung kehilangan keseimbangan cash flow dan tidak dapat membeli lagi B737 nya yang di pesan. Pada saat inilah PT. Garuda Indonesia Tbk kehilangan kapasitas produksinya baik domestic maupun international (penggantian DC10 ke DC-11, terhambat)

Era Robby Djohan (1998-1999) dan dikatakan Era Robby Djohan karena pada saat itu pertama kali orang yang menjadi direktur utama PT. Garuda Indonesia Tbk bukan orang dari industri aviasi, dan karena latar belakangnya dari perusahaan swasta maka kemampuan dalam mengambil keputusan yang cepat dibandingkan para direktur utama sebelumnya yang berasal dari birokrat. Beliau berhasil membuat PT. Garuda Indonesia Tbk mempunyai harapan baru dengan strategi-strategi atau keputusan yang popular adalah: menawarkan pensiun dini, Spin-off GMF, merestrukturisasi dan mengimplementasikan ERP dan sistem keuangan dengan SAP yaitu (real time on line). Sayangnya Bapak Robby hanya sebentar di PT. Garuda Indonesia Tbk.

Post Robby Djohan Abdul Gani (1999-2002), Indra Setiawan (2002-2005), Emirsyah Satar (2005-2014), M. Arif Wbowo (2014-2017), Pahala N. M. (2017-2018), Askhara Danadiputra (2018-2019).

Dalam Era ini, dalam memilih Direktur Utamanya yang dilakukan lebih banyak kepada Try and Error karena selalu diambil dari luar orang yang punya pengetahuan dan pengalaman aviasi, sehingga selain learning periode yang lama, kemampuan management, leadership juga dalam mengambil keputusan tidak setaraf Bapak Robby djohan.

Strategi Barrier to Entry dengan pembentukan Citylink

Semula tujuannya adalah membuat saingan terhadap airline pendatang baru dengan menggunakan model LCC (Low Cost Carrier) swasta, sehingga menutup market PT. Garuda Indonesia Tbk meloncat ke airline swasta tersebut dan sebagai pendatang baru terhalangi atau barrier to entry. Sebenarnya hal itu tidak perlu dilakukan karena segmen marketnya PT. Garuda Indonesia Tbk yang full service berbeda dengan LCC. Ada tiga kerugian bagi PT. Garuda Indonesia Tbk akibat strategi ini, yaitu:

  1. PT. Garuda Indonesia Tbk meng create competitor nya sendiri, dimana pada route-route pendek misalnya JKT ke SUB karena hanya 1 jam terbang tidak perlu makan dan minum, orang lebih banyak memilih menggunakan Citylink dari pada PT. Garuda Indonesia Tbk karena harganya juga lebih murah.
  2. menyiapkan pesawat untuk Citylink, PT. Garuda Indonesia Tbk mempunyai beban terhadap cash flow dan juga tanggung jawab pengadaan pesawatnya.
  3. barrier to entry yang diharapkan tidak terjadi, bahkan airline LCC tersebut datang menyerang balik PT. Garuda Indonesia Tbk dengan membuat full service airline, hal ini terlihat PT. Garuda Indonesia Tbk tidak fokus hanya sebagai full service airline, sehingga yang semula menjadi market leader didomestik dengan market sharenya 85% sekarang menjadi tinggal 40% saja.

Strategi ballooning pengembalian hutang (Debt)

Karena para CEO sesudah Bapak Robby Djohan dipilih orang dari para banker, maka yang dilakukan seringkali re-engineering laporan keuangan. Selain mengharapkan PT. Garuda Indonesia Tbk menjadi bankable kembali setelah krisis tahun 1998, mereka juga mengharapkan reward dari laporan keuangan yang bagus. Biasanya yang dilakukan adalah mengulur pembayaran pokok pinjaman ke tahun tahun depannya dan hanya membayar bunganya saja pada tahun berjalan, sehingga laporan akhir tahun berjalan terlihat baik, akan tetapi hal ini meninggalkan bom waktu bagi pejabat-pejabat selanjutnya karena pembayaran akan menumpuk didepan, tanpa kejelasan perencanaan kenaikan baik produksi dan pendapatannya, sehingga cash flownya juga menjadi masalah.

Strategi IPO

PT. Garuda Indonesia Tbk masuk ke bursa saham Jakarta pada 11 Feb 2011, dengan harga penawaran Rp. 750 per saham dan dilepas 6,335 miliar lembar saham, sehingga mendapatkan Rp. 4,77 triliun, tetapi yang terjadi penyerapan di market hanya laku 3,327 miliar saham dan sisanya 3 miliar saham (50%) harus diserap oleh underwriternya. Dan sampai saat ini belum bisa naik ke harga perdana bahkan harga terendah Rp 200 persaham dan harga rata-ratanya hanya Rp. 400 persaham.

Pelajaran dari IPO ini adalah hal itu terjadi karena penentuan harga saham tidak sesuai dengan value perusahaannya, sehingga overprice. Jadi image yang diharapkan tidak tercapai, dan penggunaan uang yang seharusnya dapat memperkecil hutang dan membagi deviden ke pemegang saham ternyata tidak dilakukan, bahkan digunakan untuk menambah pesawat ATR72-600 dan CRJ-1000 yang bukan menjadi kebutuhan core businessnya. Follow up setelah IPO dilaksanakan tidak pernah terlihat audit yang dilaksanakan, untuk menjawab apakah penggunaan hasil IPO tersebut digunakan secara effective dan efficien dengan transparansi dalam pengeluarannya.

Strategi Accusation atau mengambil alih PT. Sriwijaya Air

Strategi kerjasama operasi itu adalah berita resmi yang dikatakan (formal announce) oleh PT. Garuda Indonesia Tbk dan PT. Sriwijaya Air, dengan melanjutkan membuat team baru yang menduduki komposisi formal BOC dan BOD nya, dimana terlihat seolah-olah PT. Garuda Indonesia Tbk telah mengakuisisi dan menjadi pemegang saham mayoritas.

Alasan kenapa ada kerja sama operasi ini adalah karena posisi PT. Sriwijaya Air sedang rugi dan gagal membayar terhadap GMF untuk biaya perawatan pesawat, kepada PT. Pertamina untuk bahan bakar (Fuel) dan juga ke Angkasapura biaya airport dan juga perusahaan asuransi, dengan kata lain PT. Sriwijaya Air sedang kesulitan cash flow dan dalam posisi rugi besar. Biaya lebih besar jauh dari pendapatan dan mereka sudah membuka untuk dibeli oleh investor lain.

Sebenarnya Group Airline swasta lain sudah mengicar untuk membeli, tetapi karena utangnya banyak terhadap BUMN maka oeh pejabat berwenang di BUMN diarahkan agar diambil oleh PT. Garuda Indonesia Tbk.

Tetapi akibatnya PT. Garuda Indoneisa Tbk yang juga sedang negative cash flow dan PT. Sriwijaya Air nya juga dalam posisi perlu injection dana yang kuat untuk tetap dapat berproduksi, maka pastikan cash flow nya tidak akan terjadi perbaikan, bahkan konflik baru terjadi karena agreement dan hitung-hitungannya tidak dilakukan secara business formal.

Pada tragedi 911 pada twin tower New York, untuk menelusuri issue apa yang terjadi dan me-review seluruh kehandalan security yang ada diseluruh proses penerbangan di Amerika, maka penerbangan yang ada semuanya dihentikan sementara (FREES), dan seluruh penerbangan berhenti lebih dari satu bulan. Fenomena apa yang terlihat, semua airport tidak ada kegiatan, airline rugi, airport kosong, restoran dan taxi tidak ada customernya, mobilisasi orang dan barang terhambat, tourist industry menurun drastis, hotel-hotel kosong, dan kesimpulannya penerbangan berhenti menyebabkan pergerakan ekonomi berhenti juga.

Dari fenomena tersebut, bisa dibuktikan bahwa jika dibalik dengan menyelenggarakan jumlah penerbangan pada route-route yang membutuhkan, maka penerbangan atau airline akan dapat menjadi penggerak ekonomi daerah dan negara. Hal tersebut terlihat setelah penerbangan di Amerika dibuka kembali maka ekonominya berjalan kembali dengan cepat. Dan aksi reaksi ini lah yang tergambarkan oleh pendiri-pendiri negara kita dimasa yang lampau, dan dengan strategi sederhana dan dengan niat yang tulus mereka melakukan pengaturan transportasi udara dari kota besar sampai ke plosok-plosok, sehinga dapat dijangkau bagi rakyat banyak, maka diharapkan ekonomi negara akan cepat berkembang dan menjadikan negara yang makmur dan berdaulat, yang tentu bagi rakyatnya.

Harapan yang di tunggu-tunggu oleh rakyat Indonesia sejak merdeka 75 tahun yang lalu, adalah PT. Garuda Indonesia Tbk kapan sehat kembali, PT. Merpati Nusantara Airlines kapan hidup lagi, Pelita Air Service kapan berperan seharusnya?

Alangkah majunya Indonesia kalau ada anak bangsa ini, yang dapat meneruskan cita-cita pendiri negara dalam hal perhubungan udara dengan strategi yang benar dan baik sesuai harapan, sehingga airline akan menjadi penggerak ekonomi negara dengan aman dan sehat secara operasi dan finansial, baik di Domestic maupun International

Jakarta, 18 Januari 2020

Samudra Sukardi

Vice Chairman CSE Aviaton Consultant