Ada hal mengkhawatirkan Soal ASEAN Open Sky 2015

Guna memahami ASEAN Open Sky dengan baik dan benar, maka di perlukan pengetahuan tentang “konsep” dari ASEAN Open Sky tersebut.  Bagaimana “konsep” Open Sky tersebut dibangun?

Edwin Soedarmo, Director CSE Aviation menjabarkan dalam kaitanya terhadap akses ke pasar. Menurut dia, Open Sky merupakan sebuah policy internasional yang meminta untuk pembebasan peraturan dan perundang-undangan bagi industri penerbangan Internasional – membuka pasar bebas untuk sektor aviasi (penerbangan komersial).

“Pengaruh ASEAN Open Sky kepada negara-negara anggota (melalui terbentuknya ASAM dan berkembangnya AEC) antara lain keterhubungan udara yang lebih baik (better air connectivity), biaya penerbangan (air fare) yang lebih rendah, servis/pelayanan yang lebih baik, persaingan yang kuat (Strong competition) serta padat (congestions)”, katanya.

Lebih lanjut, manta Diretktur Utama PT Dirgantara Indonesia (2002-2005) ini mengungkapkan bahwa dalam kebijakan ini terdapat hak kebebasan (freedom rights/liberalisation), sebagaimana dalam gambar di ulasan ini.

ASEAN Summit ke-13 pada 20 November 2007 di Singapura, telah meng-endors inisiatif untuk membentuk ASEAN Single Aviation market (ASAM) by 2015. Hal ini dilakukan dalam rangka mendukung pembangunan ASEAN Economic Community (AEC). Setelah itu, melalui ASEAN Transport Ministers Meeting, akhirnya Open Sky dibangun sebagai sarana untuk mendapatkan akses ke pasar.

Kekhawatiran saya atas ASEAN Open Sky menimbulkan ide atau konsep Open Sky sebenernya cukup baik dari aspek usaha (Business) karena mendorong tumbuhnya kompetisi, memperluas pasar dan karenanya juga mendorong kreatifitas usaha. Tetap perlu diingat bahwa ASAM yang kita bicarakan adalah berkenaan dengan pasar aviasi yang tidak terlepas dari produk-produk aeronautika sebagai alat produksi utama yang dibutuhkan untuk terjadinya “connectivity” (AEC),” katanya.

Kekhawatiran Versi Edwin Soedarmo

  • Produk-produk aeronautika tersebut termasuk pesawat terbang, mesin pesawat terbang, propeller dan komponennya masing-masing. Termasuk juga sistem pendukungnya seperti aviation safety & security, maintenance facility, training facility dan licenses.
  • Seluruh produk aeronautika berikut sistem pendukungnya, seperti disebutkan diatas, harsulah memiliki sertifikat (certified) dan di “endors” oleh masing-masing negara ASEAN. Dengan demikian terjadi “reciprocal” approval dari masing-masing authority negara ASEAN, khususknya bagi produk aeronautik dan sistem pendukung yang lahir (born) di negara-negara ASEAN.
  • “Reciprocal” approval ini seharusnya didahulukan untuk diselesaikan sebelum melakukan Open Sky dengan apa pun usaha yang diperlukan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka kekhawatiran yang timbul adalah negara-negara ASEAN yang telah mendapatkan approval internasional (misal FAA/EASA Approved) akan mudah mengisi Open Sky Market. Sedangkan negara-negara ASEAN yang baru memiliki approval domestik, karena produk dan sistemnya lahir di negara sendiri (misal produk aeronautikal & safety system yang lahir di Indonesia dan di approved di DGCA Indonesia) akan sulit atau tidak dapat diterima (not accepted), dengan alasan non-compliance terhadap safety regulation, untuk masuk ke Open Sky Market (ASAM).
  • Didalam ASAM Technical Element, khususnya aviation safety, telah dibuat Aviation Safety Roadmap. Roadmap ini, menurut saya, masih jauh untuk mendukung Open Sky Readines. Dalam roadmap ini di bahas hal-hal yang sifatnya masih mendasar seperti penyamaan kemampuan regulatory dan standar keselamata, pengembangan SDM, inventory Standard dan yang paling terdepan adalah “Mutually Agreed Minimum Standard”.
  • Jika hal ini dibiarkan, maka akan terjadi Access Market melalu Open Sky (yang menurut saya Indonesia adalah justru pasar dari Open Sky) diisi oleh produk-produk aeronautika berikut safety sistem dan business connectivity-nya dari negara-negara ASEAN yang telah memiliki International Approval yang sudah pasti pengakuan (approval) oleh masing-masing negara ASEAN akan diberikan. Kembali lagi Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi negara lain.

Ia menegaskan, dari sisi komitmen ASEAN terhadap kemajuan menuju ASAM dan AEC wajar-wajar saja, tetapi karena Indonesia itu kapasitasnya besar seharutnya Indonesia memiliki keunggulan dalam hal bernegosiasi karena memilik Bargaining point. Misalnya Indonesia bersedia membuka ke lima bandar udara internasional dengn syarat mendapatkan priviledge tertentu untuk pesar ber-registrasi PK.

“Harapan saya, dengan pemerintahan baru mudah-mudahan ada dari isu-isu di atas yang dapat diselesaikan. Terlepas dari ada atau tidaknya adanya Open Sky, Indonesia membutuhkan perbaikan atas isu-isu di atas agar dapat menyelematkan industri aviasi kita,” katanya.

freedom

 

Edwin Soedarmo

Director CSE Aviation