“Jika maskapai masih dibebani dengan biaya-biaya yang lebih mahal daripada di negara lain dan berulang-ulang saling tumpang tindih, sehingga jika keadaan tersebut masih melekat pada maskapai Indonesia, saya rasa kita pasti kalah bersaing”
Ada satu badan yang dulu pernah disiapkan, namanya DEPANRI (Dewan Penerbangan dan Antariksa). Badan ini masih bisa diaktifkan lagi guna menghadapi pasar bersama atau ASEAN Single Aviation Market (ASAM). Dengan begitu Indonesia mampu mengisi peluang bisnis, bukan sebaliknya Cuma jadi penonton di negara sendiri. Ke depan Indonesia juga lebih siap untuk melawan kekuatan seperti Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Vietnam.
Guna mengetahui lebih lanjut tentang persiapan Indonesia menyambut Open Sky, Aviasi mewawancarai Samudera Sukardi, Consultan Partner CSE Aviation. Berikut petikan wawancaranya.
Bagaimana dengan lima bandar udara yang akan dibuka Indonesia, sementara bandar udara Negara ASEAN yang dibuka hanya satu?
Dari segi kenyamanan, bandar udara di Indonesia masih belum mempunyai standar sama, sedangkan di negara-negara ASEAN lainya pada umumnya sudah dapat dikatakan lebih baik dari Indonesia, terutama Singapura, Malaysia dan Thailand.
Untuk keamanan, di Indonesia masih harus banyak diperbaiki. Keamanan penerbangan secara reguler harus di audit oleh Independent Auditor, karena faktanya, masih dapat dengan mudah seseorang masuk ke area “restricted” tanpa menggunakan pass airport serta tidak diketahui oleh petugas penjaga. Sistemnya juga masih banyak kelemahan.
Ada dua alasan akibat perbedaan jumlah bandar udara yang dibuka. Pertama, segi positifnya, dengan dibuka lima bandar udara berarti kita akan dikunjungi oleh wisatawan dan pebisnis ke setiap penjuru Nusantara, dengan demikian akan mempercepat peningkatan perekonomian daerah setempat. Selain itu juga menguntugnkan bagi masyaakat setempat dalam rangka bepergian ke negara lain tanpa harus melalui Jakarta.
Kedua, segi negatifnya. Perusahaan penerbangan di Indonesia dari segi resipokal dirugikan, karena kesempatan pertambahan pasar penumpang hanya ditambah dari satu kota di bandingkan dengan perusahaan penerbangan di negara lain akan mendapatkan potensial pertambahan pasar penumpang dari lima kota di Indonesia.
Menurut Anda bagaimana Open Sky jika dilihat dari berbagai sisi?
Ini peluang, karena Open Sky itu merupakan pasar bersama. Tentunya pasar akan menjadi lebih besarm jumlah penumpang yang akan diangkut juga ebih besar dan tujuan atau rutenya juga terbuka lebih banyak pilihan. Dilihat dari ketiga aspek tesebut, Open Sky seharusnya merupakan peluang bisnis bagi Indonesia.
Kalaupun ada ancaman, itu semata-mata karena para pebisnis industri aviasi di Indoensia belum siap bersaing secara terbuka dengan para pebisnis di negara ASEAN lainya , seperti maskapai, pengelola Airport, AirNav (Navigasi), MRO, training, manufaktur, informasi teknologi, financial institution, aviation consulting, Aviation Law dan sebagainya.
Sebenernya yang menjadi hambatan bukan Open Sky-nya, akan tetapi Indonesia sendiri kurang dipersiapkan oleh para pelaku bisnis maupunb regulator, misalnya :
- Harga fuel masih lebih mahal dari pada negara lain.
- Aircraft Leasing masih dari luar Indonesia.
- Tidak adanya bank dan financial dari Indonesia yang siap untuk membantu memfasilitasi kebutuhan sewa maupun beli pesawat udara dan bisnis-bisnisnya.
- Belum bersaingnya MRO dalam negeri dengan luar negeri di dalam hal delivery time, quality maupun harganya karena masih ada pajak-pajak yang dikenakan, sedangkan di negara lain sudah dibebaskan
- Airport di Indonesia tidak mempunyai kualitas yang cukup dan tidak jelas standard services-nya
- Karena safety di Indonesia termasuk dalam kategori 2 oleh FAA dan dibandingkan terbang ke Eropa, maka iuran asuransinya menjadi lebih mahal dibandingkan negara lain
- UU Penerbangan tahun 2009 yang belum ada detail Kepmennya, sehingga masih belum bisa dijalankan atau menjadi beda penafsirannya.
Bagaimana strategi dari berbagai pihak, terutama pada safety?
Pemerintah Indonesia di bandingkan dengan negara lain belum secara serius menyiapkan para pebisnisnya memasuki pasar bersama tersebut, Hal ini bisa dilihat sejak 2009 sampai sekarang selama lima tahun safety kita masih tetap pada level kategori 2 padahal safety adalah salah satu unsur uang paling penting di dunia penerbangan.
Regulator tidak dapat meyakinkan apakah setiap peraturan dilaksanakan semua dengan baik dan benar oleh operatornya dan karena regulator tidak dapat meyakinkan soal safety setiap operatornya, maka oleh FAA Indonesia di level safety-nya dikategorikan sebagai level 2.
Karena jumlah pesawat udara di Indonesia sekarang sekitar 750 buah, jika satu pesawat membutuhkan empat inspektur, maka pemerintah harus mempunyai sekitar 3.000 inspektur, paling tidak jika dapat dijadwalkan secara seri, maka minimum harus memiliki 1.000 sampai 1.500 inspektur.
Jumlah sebanyak ini sangat tidak dimungkinkan bagi Dirjen Perhubungan Udara untuk merekrut PNS. Jalan keluarnya adalah Dirjen perhubungan Udara menunjuk dan mendelegasikan pekerjaan audit tersebut kepada pihak swasta, seperti halnya di industri keuangan, setiap perusahaan dapat di audit oleh KAP (Kantor Akuntan Publik).
Sebaiknya membuat suatu “team” yang bertanggung jawab ke RI 1 (Presiden), yang bertugas untuk menyiapkan kemampuan bersaing dalam rangka Open Sky.
Maskapai masih dibebani dengan biaya-biaya yang lebih mahal daripada di negara lain dan berulang-ulang saling tumpang tindih, sehingga jika keadaan tersebut masih melekat pada maskapai Indonesia, saya rasa kita pasti kalah bersaing. Dari pihak regulator, sampai sekarang belum berhasil menyelesaikan 2 isu, yaitu:
- Kategori 2 , dimana dibutuhkannya inspektur-inpsektur.
- Kesetaraan kemampuan AIRNAV Indonesia dengan negara lain
- Penjabaran UU Penerbangan 2009 No.1 , menjadi SK-SK (Surat Keputusan) Menteri sehingga Juklak (petunjuk pelaksanaannya) menjadi tidak abu-abu lagi tetapi mempunyai pengertian yang sama antara regulator dan operator
- Penghapusan batas atas dan batas bawah
- Umur pesawat dan birokrasi dalam memasukkan pesawat ke Indonesia lebih sulit dibandingkan negara lain,
- Pengawasan Kepmen 77, tentang kompensasi keterlambatan.
Strateginya paling tidak semua isu yang ada harus dapat diselesaikan, sehingga bisnis penerbangan di Indonesia menjadi lebih kondusif
Dari bandar udaranya, masih belum jelas peran AP1 dan AP2 sebagai pengelola bandar udara, pemilik aset, dan pengatur lalu lintas udara di dalam bidang pengamanan dan keselamatan maupun di bidang bisnisnya, sehingga sulit dibandingkan dengan bandara udara di negara lain.
Strateginya lebih baik merger (bergabung) antara AP1 dan AP2 dapat dilaksanakan dan spin off (pemisahan) beberapa bandar udara.
Selama ini sudah ada maskapai ASEAN terbang ke (di antara lima bandar udara) di Indonesia, seperti Phillipine Airlines sudah ke Jakarta dan Denpasar, Royal Brunei ke Jakarta, Surabaya dan Denpasar, begitu juga Malaysia Airlines dan Singapore Airline. Apakah ini sebenernya sudah dilakukan Open Sky?
Karena belum seluruh negara ASEAN menjalankan hal tersebut, menurut saya itu sudah merupakan sebagian Open Sky yang direncanakan oleh negara-negara ASEAN.
Sebenernya sejak kapan Open Sky ini direncanakan?
Memang telah dicanangkan sejak 7 Oktober 2003, tapi saat itu belum ada roadmap yang detail, dan mengingat kesiapan setiap negara berbeda, maka diberi target paling lambat 2020, tetapi pada 2007 diminta agar ASAM (Open Sky) dipercepat menjadi 2015
Samudera Sukardi
Consultant Partner CSE Aviation