Press Release CSE Aviation

CSE Aviation memiliki motivasi ingin berbagi informasi sebagai bentuk pertanggungjawaban moral kepada masyarakat. Bertempat di Wisma ANTARA, CSE Aviation mengundang para media untuk memaparkan tentang “Tinjauan Industri Penerbangan di Indonesia Tahun 2013 dan Outlook Tahun Politik 2014. Isu-isu yang diangkat antara lain terkait Pemindahan “tumpahan” penerbangan dari bandara Cengkareng ke bandara Halim, pertumbuhan jumlah penumpang udara dan jumlah pesawat udara, kondisi airline-airline Indonesia sepanjang tahun 2013 termasuk kondisi Merpati Airlines yang akan bangkrut, dan produksi pesawat N219 PT. DI.

Chappy Hakim mengungkapkan bahwa bandara Cengkareng awalnya dirancang untuk menampung 22 juta penumpang per tahun. Saat ini jumlah penumpang sudah mencapai 54 juta orang, “overcapacity” 3 kalinya. Rencana pemindahan dari bandara Cengkareng ke Halim sangat “absurd” dan naif. Solusi untuk mengatasi kepadatan penerbangan di Cengkareng dengan memindahkannya ke Halim merupakan keputusan sepihak. Otoritas bandara Halim tidak dilibatkan dengan rencana ini. Ada tiga (3) hal yang perlu dicermati terkait hal ini; Bandara Halim sebagai penerima tumpahan bandara Cengkareng tidak “fair” karena dilakukan secara sepihak . Bandara Halim merupakan “military base” yaitu dipergunakan untuk “special mission” untuk high level security seperti untuk penerbangan kepala negara . Aerodome bandara Halim tidak didesain untuk pesawat komersial.
Hasil investigasi KNKT pada kecelakaan pesawat Sukhoi beberapa tahun lalu menunjukkan lemahnya pengawasan ATC, bisa dibayangkan jika bandara Halim dipakai untuk penerbangan sipil. “Taxiway” adalah jalur penghubung dari landasan “runway” menuju terminal bandara. Bandara Halim hanya memiliki satu taxiway, sementara minimum dua taxiway untuk satu runway. Runway dirancang untuk “combat readiness”, tidak ada apron, tempat parkir mobil sangat terbatas, dan jalan menuju bandara hanya satu dengan dua jalur.

Pengelola bandara Cengkareng “tertidur” dan baru bangun setelah terjadi tiga kali “overcapacity”. Pemindahan tumpahan bandara Cengkareng ke Halim bukanlah solusi tetapi membagi bahaya.
Kita bukannya tidak mendukung langkah pemerintah untuk mengatasi kepadatan di bandara Cengkareng dengan perpindahan ke Halim, namun perlu dilakukan persiapan yang matang agar standard keselamatan penerbangan sipil dapat dicapai. Perlu dibicarakan bersama pihak terkait, perlu ditambahnya taxiway dan apron. Solusi yang dapat dilakukan untuk bandara Cengkareng dapat dilakukan dengan menurunkan frekuensi penerbangan, “reset” ke standard regulasi, membangun runway tambahan. Pengoperasian bandara Cengkareng 24 jam bukanlah solusi mengingat SDMnya belum cukup. Untuk memiliki air traffic controller tidak hanya lulus pendidikan tetapi perlu pengalaman yang cukup sebelum menangani bandara besar sekelas bandara Cengkareng.

Pertumbuhan penumpang di Indonesia tahun 2013 akan mencapai sekitar 86 juta penumpang atau naik sekitar 19 % dari tahun sebelumnya. Sementara perkembangan fasilitas seperti bandara sangat minim. Aspek keselamatan penerbangan dipertanyakan. Pertumbuhan jumlah pesawat udara perlu didukung SDM seperti Pilot dan Mekanik. Saat ini hanya Garuda Indonesia yang menghasilkan SDM yang memadai untuk industri penerbangan, STPI Curug belum mampu menghasilkan SDM yang diperlukan, demikian disampaikan Samudra Sukardi.

Sorotan terhadap airline-airline di Indonesia sepanjang tahun 2013 melihat pertumbuhan, performans, service, dan kondisi keuangan. Cita-cita Bapak Soekarno mendirikan Garuda Indonesia yaitu untuk melayani penerbangan dari kota besar ke kota besar dan internasional, Merpati Airlines untuk kota kecil ke kota besar, dan Pelita Air untuk Charter. Saat ini tujuan awal pendirian maskapai pelat merah sudah tidak sesuai. Garuda ikut melayani penerbangan ke kota kecil dan juga mendirikan anak perusahaan Citilink.

Merpati Airline memiliki utang yang sangat besar mencapai Rp. 6,5 triliun. Pemerintah berencana menjual perusahaan ini. Menurut Samudra, rencana penjualan ini akan sulit tercapai mengingat utang yang besar. Sementara itu, 33 provinsi di Indonesia masih memerlukan penerbangan dari kota kecil ke ibu kota provinsi. Misalnya untuk mencapai Jambi dari Kerinci dilakukan dengan perjalanan mobil sekitar 6 jam ke Padang dilanjutkan penerbangan ke Jakarta dan kemudian dari Jakarta ke Jambi. Betapa sulitnya menjangkau kota yang berada di provinsi yang sama. Di Papua, kebutuhan akan transportasi udara sebagai jembatan udara sangat diperlukan baik untuk penumpang maupun untuk barang-barang. Dengan dukungan investasi dari pemerintah daerah, Merpati dapat difungsikan kembali dengan mengoperasikan pesawat N219 buatan PT.DI untuk melayani daerah-daerah di Indonesia.

Edwin Soedarmo melihat pertumbuhan penumbang udara Indoensia yang fantastis belum memberikan keuntungan yang berarti buat Indonesia. Sekitar 85% keuntungan yang diperoleh dari industri ini mengalir ke luar negeri. Seperti pesawat yang digunakan berasal dari luar negeri. PT.DI memiliki kemampuan merancang dan memproduksi pesawat. Pesawat N219 adalah salah satu produksi yang diharapkan akan dapat mengisi kebutuhan pesawat kecil untuk menghubungkan kota kecil di Indonesia. Pertumbuhan industri penerbangan disertai keinginan pemerintah daerah untuk membuat airline dapat menjadi “golden opportunity” bagi PT.DI. Paling tidak jika 500 unit pesawat N219 diproduksi PT.DI akan terserap untuk menjalin jembatan udara di daerah-daerah. Jika modal yang diperlukan tersedia, dalam tiga (3) tahun N219 siap untuk terbang.

Paparan CSE Aviation ini disampaikan oleh Chappy Hakim, Samudra Sukardi, dan Edwin Soedarmo.

Jakarta, 19 Desember 2013
Ditulis oleh,

CSE Aviation