Untuk tidak memberikan informasi yang keliru mengenai tertundanya penerbangan langsung Garuda dengan B-777 ke London tempo hari, berikut ini sedikit uraian yang kiranya akan dapat menjernihkan informasi yang beredar. Berdasar penjelasan dari sumber-sumber yang layak dipercaya, dapat dijelaskan beberapa hal sebagai berikut.
Bahwa pihak Garuda, sejatinya sudah melakukan koordinasi dengan AP 2 sehubungan dengan pengoperasian pesawat B-777 Garuda yang baru. Salah satu kesepakatan yang dicapai adalah penerbangan B-777 ke Jedah yang sudah berjalan dengan baik. Khusus untuk rute direct flight Jakarta London, pihak Garuda sudah melakukan kalkulasi teknis jauh sebelumnya sesuai prosedur berlaku dan sudah mengajukan ijin untuk dapat melakukan Take Off dengan Maximum Take Off Weight (MTOW) ke Direktorat terkait di Kementrian Perhubungan dan dipastikan Kemhub sudah pula melakukan konfirmasi ke pihak Angkasa Pura 2.
Lalu bagaimana dengan tertundanya penerbangan ke London ?
Banyak yang mengatakan bahwa sudah ada beberapa Maskapai penerbangan lain yang menggunakan B-777 Take Off dan Landing dari dan ke Soekarno Hatta. Benar sekali, akan tetapi dalam hal ini, belum ada yang menggunakan landasan Soekarno Hatta untuk Take off menggunakan B-777 dengan Maximum Take Off Weight atau MTOW. Garuda ingin melakukan terobosan dengan menyelenggarakan penerbangan langsung dari Jakarta ke London tanpa berhenti untuk isi bahan bakar dan atau mengambil penumpang. Ini adalah bagian dari strategi marketing Garuda yang memiliki jaringan penerbangan dibanyak titik antara lain atau terutama dari Australia dengan tujuan Eropa.
Nah, disinilah kemudian Garuda harus berhadapan dengan sedikit masalah teknis yaitu Take Off dari Jakarta atau dari Sokearno Hatta dengan MTOW. Untuk B-777, MTOW nya adalah seberat 351.534 Kgs. Sementara itu Runway (RW) Soekarno Hatta dipublikasikan memiliki PCN 120 R/D/W/T (istilah teknis bagi kondisi dari kekuatan RW untuk Take Off dan Landing). Dengan PCN yang 120 R/D/W/T tersebut maka pesawat Boeing-777 hanya diperkenankan Take Off dengan berat maksimum 329.365 Kgs. (bandingkan dengan MTOW B-777 yang beratnya 351.534 Kgs) Itu juga berarti, bila Garuda akan tetap melakukan direct flight ke London, maka bisa dilakukan hanya dengan mengosongkan 39 kursi penumpang dan tanpa membawa cargo.
Dalam hitungan bisnis, maka itu semua berarti tidak memberikan Garuda “nilai plus” sesuai terobosan menembus market seperti yang diinginkan untuk rute tersebut. Melihat kepada ketentuan yang diberlakukan secara internasional oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) , ternyata ada celah yang memberikan kemungkinan bagi Garuda untuk tetap melakukan penerbangan direct London dengan MTOW pada RW yang PCN nya 120. ICAO ternyata memberikan ijin untuk melakukan Take Off dengan MTOW, yaitu dalam konteks boleh “over-load” sebesar 5% dari PCN 120 dengan catatan maksimum 5 penerbangan saja setiap harinya. Sedangkan Garuda hanya merencanakan 1 penerbangan saja per-hari. Berangkat dari pemikiran ini, maka sebenarnya tidak ada masalah sama sekali. Namun ijin dari pihak otoritas penerbangan nasional (kementrian perhubungan) tidak juga kunjung keluar. Dalam hal ini ada beberapa catatan yang patut diduga, yaitu antara lain, pihak otoritas penerbangan, kini sangat berhati-hati dalam mengeluarkan ijin yang berkait dengan masalah teknis operasional penerbangan yang berisiko tinggi.
Kementrian Perhubungan sebagai otoritas penerbangan nasional tengah berusaha keras untuk dapat keluar dari status kategori 2 FAA (Federal Aviation Administration) yang mengacu kepada regulasi ICAO bahwa Republik Indonesia dinilai belum mampu memenuhi International Aviation Safety Standard. Mengapa Kemhub tidak segera mengeluarkan ijin? Kemungkinan ada dua hal yang menjadi pertimbangannya. Yang pertama adalah RW Soekarno Hatta, belakangan ini sudah begitu berat bebannya dalam melayani take off dan landing yang sudah melampaui jauh dari kapasitasnya. Yang kedua adalah kemungkinan besar mereka ingin meyakinkan terlebih dahulu bahwa PCN 120 yang dipublikasikan itu benar adanya. Untuk itulah, konon, pada tanggal 24 dan 25 Juni 2013 sebuah tim teknis dari pihak yang sangat berkompeten melakukan kajian mengenai konstruksi RW Soekarno Hatta. Dari hasil kajian yang dilakukan, kelihatannya pihak otoritas penerbangan nasional Republik Indonesia sulit untuk dapat memenuhi permintaan dalam hal menggunakan RW Soekarno Hatta dengan PCN 120 yang diberikan toleransi sebesar 5% seperti yang diijinkan oleh regulasi ICAO.
Diperkirakan Tim Teknis yang diturunkan “tidak berani” memberi rekomendasi tersebut, tentunya setelah dilakukan analisis yang seksama di lapangan. Itulah sebabnya pula, kemudian pihak Garuda mengumumkan kepada masyarakat pengguna jasa penerbangan terkait Flight Jakarta London Direct dan kepada otoritas penerbangan Inggris bahwa rute penerbangan Garuda Jakarta London tersebut terpaksa ditunda berdasar fakta yang dihadapi. Dipastikan tidak ada salah satu pihak yang berniat menyalahkan pihak lainnya. Dalam hal ini memang ada 3 institusi yang terkait yaitu Angkasa Pura 2 sebagai pengelola RW Soekarno Hatta, Kementrian Perhubungan sebagai pemegang Otoritas Penerbangan Nasional dan Garuda sendiri selaku operator atau Maskapai Penerbangan yang hendak melebarkan jaringan pasar angkutan udara Global.
Bila ditelaah lebih jauh lagi, memang agak sulit bagi manajemen yang bertanggung jawab atas kondisi RW di Soekarno Hatta untuk dapat melaksanakan pemeliharaan rutin untuk menjaga kualitas RW dalam kondisi yang kelebihan kapasitas. Apalagi bila ingin lebih jauh lagi yaitu meningkatkan kondisi dari kualitas kekuatan RW yang PCN nya masih di angka 120 tersebut. Pemeliharaan dan lebih-lebih upaya peningkatan kualitas RW hanya akan mungkin dilaksanakan pada saat RW tidak digunakan Take Off dan Landing. Inilah sebenarnya akar masalah dari persoalan tertundanya Garuda Direct Flight Jakarta London dengan B-777. Kelengahan dalam mengantisipasi pertumbuhan penumpang dalam 10 – 15 tahun terakhir, menyebabkan kini kita semua memetik hasilnya yang akan sangat sulit untuk bisa diatasi dalam waktu yang singkat.
Hasil dari kelalaian yang sudah berlangsung lama, pasti juga memerlukan waktu yang lama pula bagi upaya penanggulangannya. Dalam dunia penerbangan, seperti juga dibidang profesi lain terutama yang berkaitan dengan hal yang teknologis sifatnya, kelengahan dan atau kelalaian sedikit saja akan sudah memberikan dampak besar yang sangat mendasar sifatnya. Profesionalitas dan fungsi dari Man behind the Gun, dalam dunia Aviation, ternyata memang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Tinggal pilih The Right Man on The Right Place atau The Slide Man on The Slide Place ! It is really a matter of choice !
Semoga menjadi pelajaran terakhir untuk dapat melangkah maju “sekarang”, tidak lagi baru sedang “akan” !
Jakarta 20 Agustus 2013
Chappy Hakim
Air Force Pilot
ATPL Holder No 2391