Belakangan ini pertumbuhan penerbangan diklaim terus melonjak, peminat semakin tinggi. Di samping itu, pengembangan sejumlah bandar udara besar terus dilakukan, bahkan mengaktifkan gerbang udara di kabupaten. Lalu, bagaimana Merpati malah lengser?
“Merpati itu sudah tidak ada, nyatanya operasional perusahaan minus. Nilai utang lebih besar daripada asetnya,” kata seorang narasumber kepada Aviasi yang enggan disebutkan namanya.
Faktanya Merpati terus merugi meskipun berkali-kali pemerintah menyuntikkan dana yang nominalnya bisa dipakai untuk membuat usaha baru.
Beban Rakyat
“Jika kali ini Merpati disuntik dana lagi atas utangnya, katakanlah Rp 8 Triliun, apa iya, masyarakat yang harus memikul beban Merpati?” tegas tokoh tadi saat ditemui Aviasi.
“Bayangkan saja, 8 Triliun dibagi 200 juta jumlah rakyat Indonesia, berapa itu? Utang itu dibayarkan oleh penduduk melalui pajak. Lalu, bagaimana dengan penduduk yang belum pernah naik pesawat terbang atau naik Merpati?”
Sebagaimana pengalaman narasumber ini – ia sudah bergelut di industri dirgantara -, Merpati itu sebenarnya salah pada struktur manajemen, di antaranya tidak ada yang paham masalah keuangan. “Kala itu, Bambang Bakti (alm.) yang pernah menjabat sebagai direktur utama pernah bilang kepada saya: Merpati ini ditutup saja,” paparnya.
“Sekarang, sudah kelihatan kondisi Merpati. Untuk rute, jika dalam waktu 21 hari tidak diterbangi, maka rute mati/dicabut. Dengan demikian, perusahaan lain boleh menerbangi sesuai surat dari Direktorat Angkutan Udara kepada airlines berjadwal agar mengisi rute tersebut,” jelasnya.
Hingga tulisan ini diproses untuk diterbitkan, ada kabar Merpati akan diberi pasar khusus, yaitu melayani penerbangan umroh pada awal Maret ini.
Namun sumber Aviasi menegaskan, itu hanya akal-akalan saja. Mengapa?
Karena, Merpati belum mempersiapkan armada besar (wide body), persiapan kru dan pengurusan surat izin dari Indonesia maupun Arab Saudi minimal 3-6 bulan.
Merpati “Gado-Gado”
Pada kesempatan terpisah, Samudra Sukardi, Consultant Partner CSE Aviation membenarkan bahwa Merpati itu keluar dari pokok utama bisnisnya di penerbangan feeder dan perintis.
Berikut petikan wawancara dengan Samudra Sukardi.
Bagaimana pokok jalur Merpati?
Saat itu pemerintah memikirkan matang-matang. Merpati khusus domestik, Garuda terbang ke internasional dan Pelita menerbangi yang tidak ada landasan serta helikopter.
Namun, yang terjadi aturan Merpati menggunakan pesawat kecil, justru membeli pesawat besar. Ini jelas bersaing dengan Garuda.
Apa sebenarnya makna Merpati itu?
Sesuai namanya Merpati itu burung kecil sementara Garuda burung besar. Jelas, Merpati kalah dan tidak mumpuni bertanding dengan Garuda. Sayangnya, arah bisnis Merpati ini tidak ada yang mengingatkan untuk kembali ke core bisnis utama.
Dan saat itu, tidak ada kompetitor, hanya pemerintah yang mampu menangani perusahaan negara tersebut.
Apakah dulu ada penggabungan antarperusahaan?
Sekitar 1985, ada integrasi antara Merpati (domestik) dan Garuda (internasional). Pesawat Fokker milik Garuda diserahkan ke Merpati, namun belum rampung penyerahan integrasi dibatalkan oleh Menteri Perhubungan era itu, Haryanto Danutirto.
Merpati di rute perintis atau feeder, mengapa tidak sukses yang katanya sudah sesuai tugas pokok?
Benar, Merpati terbang di remote area sekaligus angkutan kargo seperti Jayapura-Wamena. Persoalannya, sejak itu belum ada infrastruktur memadai dan pengawasannya pun tidak tepat.
Revenue collection (pendapatan keseluruhan) dari tiket dan kargo yang terjual tidak terkontrol karena tidak dilengkapi sistem. Sebenarnya laku, tapi uang tidak muncul ke perusahaan.
Bagaimana dengan alat produksi yang terus menurun?
Di zaman kejayaannya, Merpati memiliki 100 armada. Berhubung tidak ada kontrol atas pendapatan, berimbaslah soal pesawat yang akhirnya tidak dapat di-maintenance dan lain-lain.
Kemudian, pesawat IPTN dan MA-60 tidak diberdayakan dengan optimal yang seharusnya sudah cocok di rute kabupaten, feeder dan sejenisnya.
Apa solusi terbaik untuk Merpati?
Sebaiknya membuat Merpati Holding, di dalamnya ada PT Merpati Nusantara Airlines di mana utangnya dibekukan dulu. Buat lagi anak perusahaan yang kerja sama dengan Pemda. Misalnya, dengan Sumatera Utara bernama Sumut Air operated by Merpati. Dalam hal ini, biaya operasi dan pesawat ditanggung Pemda.
Keuntungan dengan Pemda, karena memiliki dana mati dari otonomi. Jadi, di sini Merpati dapat membangun “jembatan udara”, yang pada akhirnya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dari kerja sama ini, maka kurun 10-20 tahun, utang Merpati dapat dicicil dan lunas.
Lantas, bagaimana dengan pesawatnya?
Karena perlu armada yang banyak, Merpati dapat pesan ke PT Dirgantara Indonesia seperti N219 (berkapasitas 20 kursi). Rinciannya, ada 34 propinsi x 5 pesawat, maka perlu 127 armada, bisa jadi ini paling sedikit.
Dengan demikian, pabrikan pesawat Indonesia maju, Merpati maju, daerah maju dan negara maju.
Bagaimana jika Merpati dimatikan?
Kalau stop operasi selamanya, maka yang akan menikmati orang lain. Saat ini, Merpati berkompetisi langsung seperti dengan Wings Air, Trigana Air, Susi Air dan lainnya.
Mereka mendapat subsidi dari pemerintah. Mengapa harus ke swasta? Ya mending ke Merpati yang jelas punya negara dan rakyat.
Apa menariknya di rute feeder atau yang bersubsidi itu?
Perhitungannya, rata-rata rute besar misalnya Jakarta-Surabaya harga Rp 500.000, menggunakan Boeing 737 dengan waktu 1 jam 5 menit. Di rute perintis seperti Tarakan-Nunukan di Kalimantan Utara, hanya perlu 30-an menit mengandalkan Cessna dan harganya pun berkisar Rp 1,2 juta.
Jika pesawat berkapasitas 30 seat, maskapai harus Break Event Point di 16 kursi, misalnya terjual 10 kursi, maka yang enam kursi merupakan subsidi pemerintah.
Bila ditaksir berdasarkan harga, sebagai contoh BEP di Rp 600.000, tingkat isian penumpang (load factor) 80 persen. Dalam contoh ini, penumpang hanya bayar Rp 400.000 dan Rp 200.000 dibayarkan pemerintah melalui dana APBD untuk subsidi angkutan udara.
Samudra Sukardi
Consultant Partner CSE Aviation
Dimuat di
Tabloid Aviasi
(Edisi 69 Thn VI – Maret 2014)
Comments are closed.